Relief pohon kelapa itu mengandung makna kesuburan, kelapa yang dalam bahasa Bugis dan Makassar disebut Kaluku juga dijumpai pada empat etnis suku di Sulawesi Selatan. Dalam masyarakat Sulawesi Selatan pohon kelapa mempunyai makna simbolis seperti kesuburan, perdamaian dan kekayaan. Dalam tradisi Sulawesi Selatan, ari-ari bayi di tanam bersama sebuah bibit kelapa, dengan harapan anak itu tumbuh kuat dan memberi banyak kegunaan seperti pohon kelapa.
Di Selayar, adanya perkembangan bibit pohon kelapa dijadikan salah satu dasar pertimbangan untuk diterima tidaknya lamaran seorang pemuda oleh pihak gadis yang dilamar. Para pelaut-pelaut Bugis-Makassar juga tidak mengibarkan layar perahunya jika tidak membawa tunas biji kelapa di atas perahunya. Singkatnya, makna kelapa bukan saja sebagai sumber pendapatan ekonomi, tetapi juga telah menjadi tradisi dalam kebudayaan orang Bugis-Makassar.
Dalam kronik VOC, dikisahkan bahwa keindahan rumah Yanpiter Soen Coen di Batavia karena dikelilingi hiasan pohon kelapa. Bibit kelapa telah diperjualbelikan, bahkan menjadi salah satu jenis tanaman yang digadaikan sejak tahun 1678. Ini menunjukkan bahwa tanaman kelapa telah memberikan banyak manfaat bagi masyarakatnya, bukan hanya sebagai tanaman hias, tetapi juga telah menjadi tanaman yang bernilai ekonomi. Tidak berlebihan pula jika matelieff pohon kelapa digambarkan sebagai mahkota yang melambai-lambai di atas Batavia.
Anjuran penanaman pohon kelapa pertama kali dilakukan pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Van Imhoff (1743-1750). Dia menganjurkan agar menanam minimal 300 pohon kelapa disetiap perkampungan baru. Penanaman itu bukan untuk mencari keuntungan bagi pemerintah semata, tetapi juga agar dapat dinikmati penduduk setempat. Di daerah lain seperti Bogor, pemerintah VOC mengeluarkan aturan bagi setiap orang yang akan menikah agar mengambil bibit kelapa dari penghulu kemudian mereka tanam kepada tanah-tanah milik pejabat yang telah ditentukan. Sementara di Periangan, setiap orang yang akan menikah, diharapkan terlebih dahulu menanam satu sampai dua pohon kelapa di tanahnya sendiri.
Mengenai kapan dan bagaimana bibit kelapa masuk ke Indonesia, tidak diketahui secara pasti. Berbagai sumber menyebutkan bahwa tanaman kelapa mulai dikenal.
Pada daerah-daerah pesisir pantai Jawa, Sumatra, dan pulau-pulau di Nusantara bagian timur. Namun yang jelas bahwa tanaman kelapa sejak akhir abad ke-19 telah menjadi tanaman ekspor yang penting di sepanjang Sumatra bagian barat, Kalimanta Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Maluku.
Sesungguh kelapa telah lama dijadikan sebagai komoditi dagang, meski pemanfaatannya terbatas pada minyak goreng, bahan alat masak, dan sebagai pelengkap emas kawin. Tanaman kelapa baru mendapat perhatian serius sebagai komoditi dagang setelah minyak nabati sangat dibutuhkan dalam pembuatan sabun dan mentega pada akhir abad ke-19. Pada tahun 1873, Perseroan Dagang Nederland (Nederlandsche Handels Maatschappij) di Amsterdam mulai menerima kopra, namun respon pasar ketika itu tidak terlalu bagus. Ini dikarenakan pemakaian kopra masih terbatas sebagai bahan baku minyak masak dan minyak pelumas.
Ketika pemakaian kopra semakin meningkat, daerah-daerah koloni mulai jadi perhatian untuk mengembangkan tanaman kelapa. Pemerintah Inggris mulai mengembangkan tanaman kelapa di Ceylon dan Semenanjung Melayu. Begitu pula di Filipina oleh Spanyol dan Pemerintah Hindia Belanda di Nusantara.
Di Sulawesi Selatan, untuk mencegah adanya monopoli kebun kelapa dan kopi yang lebih besar, maka pemerintah Residen Celebes Onderhoorigheden menerapkan hukum agraris pada tahun 1893 dengan stbl 259. Hukum agraris ini memuat tentang penerapan pembatasan tanah dan pendaftaran luas tanah yang wajib pajak (larente). Kebijakan ini diperkuat dengan Surat Ketetapan Keputusan Depertemen Pertanian Makassar tertanggal 1 Maret 1937 yang memuat larangan para petani kelapa dan kopi untuk tidak semena-mena mengontrakkan tanahnya kepada perusahaan-perusahaan perkebunan. Untuk itu ditetapkan bahwa setiap petani tidak boleh mengontrakkan melebihi 750 meter persegi. Peraturan ini diberlakukan untuk perkebunan kopi di daerah Mamasa, Makale, Koera-koera, Rante Sappa, Balambong, Mambi, Manipi, dan Ereng-Ereng. Peraturan ini berlangsung sampai tahun 1950-an.
Di Indonesia Timur, khususnya di Ternate, ditemukan berbagai aturan dalam menanam kelapa. Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan penanaman kelapa yang disebut Peraturan Penanaman Kelapa dan Perdagangan Kopra di Kresidenan Ternate dan sekitarnya. Dalam kebijakan itu ditetapkan bahwa para pemilik, penyewa, dan pemakai tanah, wajib membersihkan kebunnya agar gangguan hama kelapa tidak menular ke tanaman kelapa lain. Juga bertujuan agar kumbang penyakit yang sering mematikan kelapa Ternate dapat dicegah. Bagi penduduk yang tidak membersihkan kebun, akan mendapat hukuman.
Petani dan orang Eropa ketika kali pertama melanggar aturan penanaman kelapa dan pemeliharaannya itu dikenakan bayar denda berupa uang. Orang Eropa yang melanggar dikenakan denda maksimal f 25, sedangkan orang pribumi atau yang dipersamakan maksimal f 10. Apabila petani dan pemilik kebun tetap tidak mengindahkannya dan ditemukan pelanggaran yang kedua kalinya, maka dendanya dinaikkan sampai f 50, atau dituntut hukuman untuk membayar segala risiko yang diakibatkan berkembangnya penyakit hama kelapa. Untuk mengefektifkan kebijakan itu, maka disetiap distrik yang banyak tumbuh pohon kelapa di Ternate dibentuk badan pengawas ketertiban kebun kelapa.
Para pejabat dan petugas kepolisian berhak untuk memeriksa pekarangan, perkebunan dan tanaman kelapa setiap pagi dan sore. Maksudnya untuk meyakinkan apakah aturan dalam ketentuan pembersihan kebun telah dipatuhi atau tidak. Penolakan para petugas masuk memeriksa kebun pemilik kebun, dapat dikenakan hukuman sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Para pemilik kebun kelapa yang melanggar terlebih dahulu diberikan peringatan secara tertulis atas nama pemerintah distrik dan unsur yang terkait. Surat peringatan itu memuat perintah agar dalam batas waktu tertentu dilakukan perbaikan seperti apa yang diperintahkan.
Apabila dalam batas waktu itu perintah tersebut tidak diindahkan, maka teguran akan menyusul. Peraturan itu diberitakan dalam Javasche Courant 30 hari sebelum peraturan dimulai. Hal itu bertujuan agar tidak ada pemilik kebun kelapa yang berpura-pura tidak mengetahuinya. Peraturan tersebut dicantumkan dalam surat kabar resmi dan diterjemahkan ke dalam bahasa lokal dan Cina. Peraturan di atas bertujuan untuk mencegah munculnya penanaman liar yang semakin berkembang dan memberi perawatan maksimal atas tanaman kelapa. Tentu karena buah kelapa kering yang telah dipotong-potong berupa kopra, merupakan komoditi dagang yang penting.
Di Selayar, adanya perkembangan bibit pohon kelapa dijadikan salah satu dasar pertimbangan untuk diterima tidaknya lamaran seorang pemuda oleh pihak gadis yang dilamar. Para pelaut-pelaut Bugis-Makassar juga tidak mengibarkan layar perahunya jika tidak membawa tunas biji kelapa di atas perahunya. Singkatnya, makna kelapa bukan saja sebagai sumber pendapatan ekonomi, tetapi juga telah menjadi tradisi dalam kebudayaan orang Bugis-Makassar.
Dalam kronik VOC, dikisahkan bahwa keindahan rumah Yanpiter Soen Coen di Batavia karena dikelilingi hiasan pohon kelapa. Bibit kelapa telah diperjualbelikan, bahkan menjadi salah satu jenis tanaman yang digadaikan sejak tahun 1678. Ini menunjukkan bahwa tanaman kelapa telah memberikan banyak manfaat bagi masyarakatnya, bukan hanya sebagai tanaman hias, tetapi juga telah menjadi tanaman yang bernilai ekonomi. Tidak berlebihan pula jika matelieff pohon kelapa digambarkan sebagai mahkota yang melambai-lambai di atas Batavia.
Anjuran penanaman pohon kelapa pertama kali dilakukan pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Van Imhoff (1743-1750). Dia menganjurkan agar menanam minimal 300 pohon kelapa disetiap perkampungan baru. Penanaman itu bukan untuk mencari keuntungan bagi pemerintah semata, tetapi juga agar dapat dinikmati penduduk setempat. Di daerah lain seperti Bogor, pemerintah VOC mengeluarkan aturan bagi setiap orang yang akan menikah agar mengambil bibit kelapa dari penghulu kemudian mereka tanam kepada tanah-tanah milik pejabat yang telah ditentukan. Sementara di Periangan, setiap orang yang akan menikah, diharapkan terlebih dahulu menanam satu sampai dua pohon kelapa di tanahnya sendiri.
Mengenai kapan dan bagaimana bibit kelapa masuk ke Indonesia, tidak diketahui secara pasti. Berbagai sumber menyebutkan bahwa tanaman kelapa mulai dikenal.
Pada daerah-daerah pesisir pantai Jawa, Sumatra, dan pulau-pulau di Nusantara bagian timur. Namun yang jelas bahwa tanaman kelapa sejak akhir abad ke-19 telah menjadi tanaman ekspor yang penting di sepanjang Sumatra bagian barat, Kalimanta Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Maluku.
Sesungguh kelapa telah lama dijadikan sebagai komoditi dagang, meski pemanfaatannya terbatas pada minyak goreng, bahan alat masak, dan sebagai pelengkap emas kawin. Tanaman kelapa baru mendapat perhatian serius sebagai komoditi dagang setelah minyak nabati sangat dibutuhkan dalam pembuatan sabun dan mentega pada akhir abad ke-19. Pada tahun 1873, Perseroan Dagang Nederland (Nederlandsche Handels Maatschappij) di Amsterdam mulai menerima kopra, namun respon pasar ketika itu tidak terlalu bagus. Ini dikarenakan pemakaian kopra masih terbatas sebagai bahan baku minyak masak dan minyak pelumas.
Ketika pemakaian kopra semakin meningkat, daerah-daerah koloni mulai jadi perhatian untuk mengembangkan tanaman kelapa. Pemerintah Inggris mulai mengembangkan tanaman kelapa di Ceylon dan Semenanjung Melayu. Begitu pula di Filipina oleh Spanyol dan Pemerintah Hindia Belanda di Nusantara.
Di Sulawesi Selatan, untuk mencegah adanya monopoli kebun kelapa dan kopi yang lebih besar, maka pemerintah Residen Celebes Onderhoorigheden menerapkan hukum agraris pada tahun 1893 dengan stbl 259. Hukum agraris ini memuat tentang penerapan pembatasan tanah dan pendaftaran luas tanah yang wajib pajak (larente). Kebijakan ini diperkuat dengan Surat Ketetapan Keputusan Depertemen Pertanian Makassar tertanggal 1 Maret 1937 yang memuat larangan para petani kelapa dan kopi untuk tidak semena-mena mengontrakkan tanahnya kepada perusahaan-perusahaan perkebunan. Untuk itu ditetapkan bahwa setiap petani tidak boleh mengontrakkan melebihi 750 meter persegi. Peraturan ini diberlakukan untuk perkebunan kopi di daerah Mamasa, Makale, Koera-koera, Rante Sappa, Balambong, Mambi, Manipi, dan Ereng-Ereng. Peraturan ini berlangsung sampai tahun 1950-an.
Di Indonesia Timur, khususnya di Ternate, ditemukan berbagai aturan dalam menanam kelapa. Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan penanaman kelapa yang disebut Peraturan Penanaman Kelapa dan Perdagangan Kopra di Kresidenan Ternate dan sekitarnya. Dalam kebijakan itu ditetapkan bahwa para pemilik, penyewa, dan pemakai tanah, wajib membersihkan kebunnya agar gangguan hama kelapa tidak menular ke tanaman kelapa lain. Juga bertujuan agar kumbang penyakit yang sering mematikan kelapa Ternate dapat dicegah. Bagi penduduk yang tidak membersihkan kebun, akan mendapat hukuman.
Petani dan orang Eropa ketika kali pertama melanggar aturan penanaman kelapa dan pemeliharaannya itu dikenakan bayar denda berupa uang. Orang Eropa yang melanggar dikenakan denda maksimal f 25, sedangkan orang pribumi atau yang dipersamakan maksimal f 10. Apabila petani dan pemilik kebun tetap tidak mengindahkannya dan ditemukan pelanggaran yang kedua kalinya, maka dendanya dinaikkan sampai f 50, atau dituntut hukuman untuk membayar segala risiko yang diakibatkan berkembangnya penyakit hama kelapa. Untuk mengefektifkan kebijakan itu, maka disetiap distrik yang banyak tumbuh pohon kelapa di Ternate dibentuk badan pengawas ketertiban kebun kelapa.
Para pejabat dan petugas kepolisian berhak untuk memeriksa pekarangan, perkebunan dan tanaman kelapa setiap pagi dan sore. Maksudnya untuk meyakinkan apakah aturan dalam ketentuan pembersihan kebun telah dipatuhi atau tidak. Penolakan para petugas masuk memeriksa kebun pemilik kebun, dapat dikenakan hukuman sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Para pemilik kebun kelapa yang melanggar terlebih dahulu diberikan peringatan secara tertulis atas nama pemerintah distrik dan unsur yang terkait. Surat peringatan itu memuat perintah agar dalam batas waktu tertentu dilakukan perbaikan seperti apa yang diperintahkan.
Apabila dalam batas waktu itu perintah tersebut tidak diindahkan, maka teguran akan menyusul. Peraturan itu diberitakan dalam Javasche Courant 30 hari sebelum peraturan dimulai. Hal itu bertujuan agar tidak ada pemilik kebun kelapa yang berpura-pura tidak mengetahuinya. Peraturan tersebut dicantumkan dalam surat kabar resmi dan diterjemahkan ke dalam bahasa lokal dan Cina. Peraturan di atas bertujuan untuk mencegah munculnya penanaman liar yang semakin berkembang dan memberi perawatan maksimal atas tanaman kelapa. Tentu karena buah kelapa kering yang telah dipotong-potong berupa kopra, merupakan komoditi dagang yang penting.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar